rss

Monday, January 16, 2006

sebuah rumah dan ketidakberdayaan politis

12 januari lalu film sembilan naga diputar perdana dan aku putuskan menontonnya hari itu juga. jarang aku menonton film segegas ini. karena kata kawanku hagi, don’t take the first blood at the first time hehe. agak kurang sambung sebenarnya. aku lebih suka dipengaruhi oleh orang lain dan media dalam memutuskan untuk menonton atau tidak sebuah film. agar kemudian aku ter(di)paksa melihat sisi lain yang berbeda setelah menonton filmnya.

awalnya aku tertarik dengan kalimat promo film ini di radio; “mau kamu aku jadi tukang batu, digaji lima ribu rupiah sehari…” romantik, itu kesan pertama. kalau film ini tentang para penjahat, aku membayangkan mereka punya alasan yang cukup romantik mengenai alasan ulahnya.

marwan menemukan kelaki-lakiannya belum lengkap ketika menemukan istrinya tertidur dengan masih memegang secarik brosur rumah. masa depan bagi marwan yang bekerja sebagai pembunuh bayaran adalah sebuah rumah. setelah sahabat yang mati karena timah panas yang dimuntahkannya, jiwa marwan keluyuran mencari ampunan. marwan merasa kejahatannya harus berhenti dan mengharapkan sebuah rumah untuk mengoreksi khilaf.

ketika mendatangi kantor developer dan memastikan apakah simpanannya sejumlah dua juta rupiah cukup untuk sebuah rumah, marwan hanya mendapat tawa tanpa kata. marwan mencoba menagih piutang dari pemakai jasanya. tapi dia dianggap belum sepenuhnya berhak atas bayarannya. dan dia terpaksa membunuh untuk sejumlah uang di dalam laci.

tentu semuanya tidak semakin mudah. marwan berhasil membeli sebuah rumah. meski dia tak pernah mendiaminya sekejap pun. bagi marwan rumah terlalu mahal kalau tidak ditukar dengan nyawa.

di negeri yang pemerintahnya tak pernah serius menyediakan kebutuhan rumah untuk rakyatnya ini, pilihan marwan menjadi begitu politis. memang filmnya tak ingin mengarah ke sana. tapi bila seorang laki-laki ingin menyediakan sebuah rumah teduh bagi istrinya, dan untuk itu dia terpaksa merampok dan membunuh orang lain, tentu saja ini sebuah ketidakberdayaan politis. sebuah ekspresi cinta yang tergencet dan tergusur. sebuah keputusasaan lelaki yang bermuara di ujung belati.

terlalu naif bila saya menyebut marwan sebagai pahlawan kaum suram. melihat gejala pembesaran volume rumah di kawasan-kawasan elit Jakarta –di tengah kecenderungan menyusutnya jumlah anggota keluarga inti- sementara jutaan orang lainnya di jakarta tak bertempat tinggal, pilihan marwan mudah dipahami. marwan cuma narasi kecil di tengah realitas besar tentang kecenderungan orang mewujudkan prilaku snobis dalam langgam dan gaya arsitektur tempat tinggalnya.

dulu saya mendamba negeri sosialis tanpa hak kepemilikan atas tanah. bumi adalah tanah semua orang. tidak perlu ada kolektor sertifikat tanah demi alasan investasi masa depan, tidak ada tuan tanah. tidak perlu ada istilah mahal untuk rumah, karena tanah untuk semua orang. revolusi agraria masih menjadi cita-cita penting. pemerintah belum tampak terlalu peduli menunaikan tugasnya. sementara umur terus bertambah. dan marwan semakin mendorong saya ingin punya rumah.

sedang menunggu momentum untuk menjual canon 10D, lensa canon 70-200mm f4L dan tokina ATX 12-24mm untuk uang muka rumah. ada yang berminat? menggadaikan benda kesayangan sebagai bentuk ketidakberdayaan politis =)

4 komentar:

tamankembangpete on 8:47 PM said...

ciputrix itu yg bangun bintarix yah? 'dimaksimalkan' itu artinya menunggu dan mengulur waktu. sementara iwa k berseru: sudah saatnya sekarang...

Dindajou on 5:27 PM said...

masih dijual 10dnya om? atau udah punya rumah sekarang? :P

tamankembangpete on 5:46 PM said...

masih menunggu penawaran terbaik nih. kl minat silakan dimasukkan penawarannya =)

Dindajou on 11:16 AM said...

gw mau serius belajar fotografi neh. it's about time, i guess. dan 10d gak keluar lagi yang baru kan ya? buka harga berape neh? adoohh... tolong ya saya dijapri ajah. ceting aja ya kalo sempet: my YM id: dinda_jou.