rss

Friday, January 27, 2006

kurindu diriku dulu (yang sinis)

“cynicism is the only form in which base souls approach honesty.”
friedrich nietzsche

saya iseng sendirian mengunjungi festival kemang beberapa waktu lalu. tidak banyak hal menarik di festival yang menutup jalan kemang raya itu dan menjadikan stan dagang menguasai jalanan. sabtu petang itu diwarnai hujan deras, berlari saya menuju toko buku aksara, tempat favorit saya di kawasan itu.

di depan pintu masuk aksara saya mengatur napas, dan menyalakan rokok. seorang laki-laki tergopoh-gopoh. ternyata sama maksudnya dengan saya, berteduh. kita memandangi jalan yang macet. dia berkomentar, “waduh macet banget ya gara-gara acara ini.” saya membalasnya, “iya padahal festival apaan sih ini. sampai nutup jalan, padahal stan-stannya cuma jual barang yang sama dengan di blok m. cuma harganya lebih mahal.” sebuah sinisme ringan, atau mungkin ekspresi kecewa kenyataan tak sesuai harapan.

kata-kata yang saya ucapkan dengan santai itu mendapat respon. “iya, mas. gawat bangsa ini, bikin festival-festival sok keren bikin macet jalan padahal isinya nggak mutu semua. pantes aja mental bangsa ini sempit, suka niru gaya barat, padahal nggak mutu.”

saya agak terpana mendengar komentar orang itu, apalagi karena saya yang memancingnya. sinis. sebuah sinisme ringan yang ditimpali sinisme yang lebih tajam. sebagian orang tentu tidak terlalu suka mendengar komentar semacam itu, atau menganggapnya berlebihan. tapi perbincangan singkat itu membuat saya teringat, saya pernah selalu cenderung berpikir seperti orang itu.

saya pernah menjalani masa hidup disebut sebagai manusia sinis. banyak sahabat mengatakan benci pada saya pada perkenalan-perkenalan pertama. bahkan ada seorang kawan yang mencoba jujur bertanya setengah bercanda tentang masa itu, “hidupmu nggak bahagia waktu itu?”

terang, saya tidak bisa menampik atau menjawab soal kebahagiaan itu. kalau memang ada hubungannya, bisa jadi saya semakin bahagia, dan kadar sinisme saya berkurang atau mungkin hilang. ada juga kawan yang begitu menerima gaya saya dan menganggapnya sebagai cara saya “memilih peran”.

ketika saya masih bekerja di sebuah media massa beberapa tahun lalu, pemimpin redaksi berbicara di depan seluruh karyawan tentang keinginannya meningkatkan kesejahteraan karyawan. dia bercerita baru saja berbagi cerita dengan supir taksi tentang penghasilan. agak mengagetkan, dia meneteskan air mata, berkata, “saya sedih sekali, penghasilan supir taksi saja jauh lebih besar daripada penghasilan wartawan anak buah saya.”

saya pun berbisik dengan rekan di sebelah saya. “air mata buaya. tetap aja gaji dia belasan juta, sementara kita kerja rodi tetap pas-pasan.” kawan saya itu pun terpancing untuk berkomentar. “iya, nangis di depan orang sih nggak guna, tetap aja besok dia lupa kalau wartawan masih menderita. loh kok kita jadi sinis begini yah,” kata dia sambil terkekeh. belum lama ini saya bertemu dengan kawan lama yang masih bekerja di media itu. kesejahteraan belum banyak berubah, kata dia.

ilustrasi kedua. seorang teman mencak-mencak ketika transjakarta baru saja beroperasi. “sutiyoso memang nggak punya otak. itu jalan sudirman makin sempit aja, maunya menyediakan transportasi umum untuk mengurangi kemacetan, tapi kontraproduktif!”

saya tidak suka sutiyoso, juga tidak terlalu peduli dengan kebijakan busway. tapi saya langsung berkomentar, “yang protes busyway kan cuma orang kaya bermobil yang merasa koridor jalan berkurang. ” kawan itu langsung berkomentar, “loh kok elu sinis banget sama orang kaya!” saya tidak meresponnya.

sinisme yang kerap dianggap mengesalkan telah menjadi proyek filsafat yang diinspirasi oleh socrates dan oleh beberapa komentator dianggap patologi sosial. ada yang menyebutnya pemberontakan nihilis melawan dasar peradaban. Ian cutler, penulis buku ‘cynicism from diogenes to dilbert’ menyebut definisi modern sikap sinis ditujukan bagi individu yang negatif dan sarkastis, dengan keras berdiri melawan otoritas mapan dan konvensi sosial, dan membaktikan diri pada eksistensialisme.

sejarah mempertemukan kita dengan beberapa karakter sinis, dari nietzsche, machiavelli, diogenes, kaum dadais, george bataille, sampai samuel beckett. dari dunia kontemporer, auberon waugh, pencipta south park dianggap manusia dengan mutu sinisme menjulang.

sinisme, bagi saya adalah sebuah situasi menyenangkan yang kerap mendatangkan kejernihan. sinis berarti mempertanyakan ketulusan setiap ungkapan. baik itu ketika mendengar pernyataan politikus, mengamati pemberitaan media massa, atau dalam banyak hal lain. sinisme adalah jalan efisien melawan kebohongan dan kekecewaan yang membentang dalam kehidupan sehari-hari. sinisme, kata nietzsche adalah satu-satunya bentuk dimana jiwa bisa mendekati kejujuran.

sinisme juga perlu. “hidup bukan persoalan gampang… kau tidak akan bisa melaluinya tanpa jatuh ke dalam frustrasi atau sinisme kecuali sebelumnya kau memiliki ide hebat yang bisa mengangkatmu dari kesengsaraan pribadi, dari kelemahan, dari segala macam pengkhianatan dan kehinaan lain,” kata leon trotsky.

mudahan-mudahan benar hidup saya tambah bahagia, tapi saya rindu diri saya dulu yang sinis. sebab sinis adalah sikap penuh harap.

5 komentar:

Hendro on 7:15 PM said...

Sinis emang salah satu cara untuk orang mengatakan,"Hell men, I don't like it. I don't give a fuck. It's my opinion. If anyone didn't agree with me, fuck them!"

Sorry untuk bahasa yang kotor...

tamankembangpete on 12:27 PM said...

eh negro, jorok bgt omongan lu. ngerap sono!!! hehe

vinka on 8:49 AM said...
This comment has been removed by a blog administrator.
vinka on 8:50 AM said...

komentar sinis perlu untuk buka diskusi. urusan salah atau benar biar belakangan. kesinisan bisa jadi sikap dignified untuk dikritik, didebat panjang lebar. dengan kata lain biar bisa ngobrol gituh... hehehe... apalagi kalo lagi nunggu ujan trus ada cewe/cowo cakep. heuh... silahkan bersosialisasi dengan sinisme... Hueheheheheh

Anonymous said...

biasa aja...